PENGASINGAN BUNG KARNO, BERASTAGI, TANAH KARO (1948)

Tak banyak diantara kita yang mengetahui Bung Karno pernah diasingkan di Berastagi. Mungkin bila menyebut pengasingan Bung Karno yang terlintas di  benak kita adalah Ende, Flores dan Bengkulu. Bahkan kita pun akan menyebutPrapat. Padahal sebelum Bung Karno dan kawan-kawan dibawa ke daerah  Prapat, sempat diasingkan di Berastagi. Bung Karno dalam otobiografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams,2002) menyatakan “Brastagi berarti mengalami kehidupan Bengkulu lagi. Hanya ada beberapa perbedaan. Satu : mereka tidak menamakan pengasingan. Sekarang istilah ‘penjagaan untuk keselamatan”.  Dua: kami dijauhkan dari isteri kami. Dan tiga: kami berada di dalam lingkungan  kawat berduri enam orang pakai senapan mundar-mandir secara bersambung. “ Sementara itu, Lambert Giebels (2001), penulis buku biografi Bung Karno melukiskan peristiwa pengasingan Bersatagi sebagai berikut: “Dari antara  mereka yang ditangkap di Yogja, sembilan orang ditunjuk untuk diinternir tanpa  criteria tertentu. Tidak mengherankan bahwa Sukarno dan Hatta termasuk  kelompok ini. Akan tetapi Syahrir, sebagai anggota Dewan Penasehat  mempunyai kedudukan yang kurang penting, juga termasuk di dalamnya. Dari  para menteri mula-mula hanya Agus Salim yang dipilih. Disamping itu, diasingkan pula Ketua KNIP Assa’at, Sekretaris Negara Pringgodigdo, dan  S.Suriadarma. Pada tanggal 23 Desember 1948 mereka naik pesawat terbang yang dikendalikan oleh seorang komandan yang ditetapkan baru boleh membuka surat perintah bersegel “sangat rahasia” kalau sudah di udara. Baru waktu itu ia tahu bahwa mereka harus pergi ke Pulau Bangka dekat Sumatra. Ketika mendarat di ibu kota Bangka, Pangkalpinang, Hatta bersana tiga orang  tahanan lainnya disuruh meninggalkan pesawat. Mereka dipenjarajan di sana.  Tiga orang yang masih tersisa, Sukarno, Syahrir dan Agus Salim diterbangkan, ke Medan. Dari sana mereka naik kendaraan ke Brastagi, sebuah kota di pegunungan kira-kira 60 kilometer dari kota Medan. Setelah ketiganya di Brastagi, ternyata di sana menimbulkan masalah  penjagaan, mereka bertiga lalu diasingkan ke tempat lain. Pada tanggal 1 Januari 1949 mereka dipindahkan ke Parapat sebuah tempat liburan yang tidak  jauh dari Brastagi. Di sana, mereka ditempatkan di sebuah rumah peristirahatan mewah yang lebih muda di jaga”.

Sedang, T. M. Siregar (2001), menyatakan pendapat mengenai pengasingan Berastagi, “Sejak bulan April 2001 yang lalu rumah tempat Bung Karno diinternir  oleh Belanda bersama Haji Agus Salim dan Sutan Syahrir kini sedang dipugar menjelang Peringatan 100 Tahun Bung Karno, dan diharapka selesai dalam  waktu empat bulan mendatang. Bangunan tempat pengasingan Bung Karno di tahun 1948 tersebut berbentuk semi permanen beratapkan seng seluas 20×30 M  terletak di arela seluas 1,5 H terletak di kota Brastagi, di Desa Laugumba,  Kec.Brastagi, Sumatera Utara. (70 kilometer sebelah barat daya Medan. Selama ini tempat itu berfungsi sebagai rumah tamu milik Pemda Propinsi Sumatera Utara. Bangunan yang sedang dipugar itu akan dilengkapi patung Bung Karno setinggi 7 meter, menggambarkan Bung Karno sedang menunjuk ke depan dengan tangan kanan sementara tangan kiri menjepit tongkat komando. Pemugaran kembali rumah pengasingan Bung Karno yang mempunyai nilai historis itu disambut baik oleh masyarakat setempat, terutama oleh etnik Karo yang  memang terkenal sejak awal revolusi sangat setia kepada Bung Karno. Proklamator RI ini oleh masyarakat Karo dijuluki sebagai “Bapak Rakyat Sirulo”  (Bapak Lambang Kemakmuran Rakyat).” 3  DR. Asvi Warman Adam (Sejarahwan LIPI), tentang pengasingan Bung Karno  di Berastagi mengatakan : tampaknya Bung Karno tidak lama di Brastagi karena  alasan ‘keamanan.’ Tempat mereka menginap dianggap pihak Belanda tidak  aman karena bisa diserang oleh Laskar Rakyat ( Tanah Karo dikenal sebagai poros / basis perjuangan rakyat di Sumatra Utara untuk menegakkan  kemerdekaan Republik Indonesia ). Mereka secepatnya dipindahkan ke Parapat di pinggir Danau Toba tanggal 1 Januari 1949 dan pada tanggal 7 Februari para tahanan dari Parapat ini diangkut ke Pulau Bangka, mereka berkumpul di sana. Tanggal 6 Juli 1949 Bung Karno kembali ke Jogjakarta. 4 Sekali lagi, keterangan ini berasal dari satu

Peresmian Monumen Bung Karno di Berastagi, kabupaten Karo, Sumatra Utara  menjadi salah satu bagian penting dari Peringatan 104 Tahun Bung Karno.  Berastagi, di sekitar akhir tahun 1948 menjadi tempat pengasingan sementara Bung Karno, setelah beliau ditangkap di Gedung Agung bersama dengan  beberapa pimpinan republik lainnya pada tanggal 22 Desember 1948, oleh pihak militer Belanda dalam agresinya yang ke dua.  Rumah beratap seng tempat Bung Karno tinggal itu seakan menjadi saksi bisu dalam guratan sejarah perjuangan rakyat Indonesia. “Perjuangan rakyat di Tanah Karo sebelum dan sesudah Proklamasi 17-8-1945  sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang SATU, adalah mempunyai ciri khusus. Seluruh rakyat, tua dan muda, pria dan wanita bangkit serentak memberikan dharmabakti untuk kemerdekaan Indonesia. Lima puluh tiga kampung di Tanah Karo habis dibumihanguskan dalam perjuangan; ratusan pemuda gugur di medan pertempuran yang terjadi beratus kali di berbagai pelosok, sekian ratus orang yang cacat menjadi saksi hidup sebagai laskar rakyat yang berjuang tanpa pamrih,” tutur Tridah Bangun, wartawan senior dari Medan. Di Tanah Karo selain unsure TNI, dikenal sejumlah Laskar Rakyat, seperti Napindo Halilintar, dan Barisan Harimau Liar. Mereka berasal dari rakyat yang hanya bermodalkan semangat dan keiklasan dalam berjuang. “Karena itu tidak mengherankan kalau pada masa itu sebagian besar kampung  di Tanah Karo mempunyai kuburan para pejuang, baik karena pertempuran di kawasan Medan Area, maupun pertempuran dari kampung ke kampung lain, ditambah jenazah pahlawan yang belum sempat dipindahkan dari bukit dan lembah,” kata beliau.

Patung perunggu dengan posisi duduk berukuran postur tubuh 7 meter itu  dipancangkan di bumi perjuangan, Tanah Karo, persis di depan rumah  pengasingan Bung Karno. Patung tersebut dibuat oleh pematung Djoni Basri beserta tim pematung dan Sigit Lingga sebagai koordinator tim. Pembuatan patung tersebut melibatkan banyak orang, termasuk anggota keluarga Bung Karno, para pejuang dan saksi hidup, sejarawan dan segenap masyarakat yang pernah dekat dengan beliau. Model patung dikerjakan di Jakarta, kemudian dibawa ke Yogyakarta, dan setelah itu dibawa ke Berastagi. Pembangunan Monumen tersebut adalah salah satu penegasan kembali akan  garis perjuangan rakyat di Tanah Karo yang tak akan pernah pudar. Jiwa mereka selalu bersama Pemimpin Besar Rakyat Indonesia, Bung Karno. (yayasanbungkarno).                                                                                           sumber : karo – 26 Agustus 2010

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *