KARO DI KOTA MEDAN

Berbicara mengenai keberadaan Kota Medan, maka salah satu hal yang tidak dapat terpisahkan adalah mengenai keberadaan Suku Karo yang notebene adalah penemu sekaligus pendiri kota terbesar ketiga di Indonesia ini.

Untuk mengenal lebih jauh mengenai keberadaan masyarakat Karo di Kota Medan, maka alangkah lebih baiknya kalau kita membaca tulisan berjudul “Karo di Sekitar Medan” yang pernah dipublikasikan oleh situs sorasirulo.net berikut ini:

Kerajaan Haru dan Kesultanan Deli tidak terlepas dari masyarakat Karo dan Melayu. Kebetulan, wilayahnya berdampingan. Mereka hidup rukun dan damai sejak zaman dahulu.

Hancurnya Haru akibat serangan licik Kerajaan Aceh. Terdapat 4 urung yang tersisa: Serbanaman (Sunggal) panteken Surbakti mergana, Sepuluduakuta (Laucih) panteken Purba mergana, Sukapiring (Delitua) panteken Karosekali dan Meliala mergana, Senembah (Petumbak) panteken Barus mergana.

Bukti lainnya akan kejayaan Karo di daerah ini adalah Putri Hijau. Hampir semua versi cerita Putri Hijau menyangkut Karo dan Melayu. Bahkan, saudara Putri Hijau yang menjelma menjadi meriam pecah 3 bagian menempati Sukanalu, Delitua dan Istana Maimoon.

Permaisuri Sultan Deli yang pertama (Gocah Pahlawan) Nangbaluan br Surbakti adalah adik kandung Datuk Sunggal bernama Datuk Hitam Surbakti. Mereka berumah tangga tahun 1632. Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi di sekitar pertemuan Sungai Deli dengan Sungai Babura. Tidak berapa jauh di belakang kantor Walikota Medan sekarang.

Begitu eratnya hubungan Melayu dengan Karo, selayaknya ciri khas ornamen Karo ditambah dan dibenahi di Medan mengimbangi Melayu.

Patung Guru Patimpus merupakan kebanggaan Karo di Medan. Walaupun pembangunannya sudah sangat terlambat dan letaknya seharusnya di ujung Jl. Guru Patimpus di Majestik, di tugu jam SIB, tapi biarlah tidak mengapa. Terpenting, kita tidak melupakan sejarahnya.

Demikian juga patung komponis Djaga Depari berdiri manis di persimpangan Jl. Sultan Iskandar Muda dengan Jl. Letjen Jamin Ginting. Sudah pas dan cocok letaknya. Patung Letjen Jamin Gintings di depan Kodam II Bukit Barisan mengingatkan perjuangan beliau. Dia adalah Pangdam pertama di Sumut.

Hati menangis saat diruntuhkannya bangunan-bangunan berornamen Karo di Tapian Daya dulu dan diganti bangunan modern. Tapi, untunglah, stand paviliun Kab. Karo di PRSU masih menggunakan ciri khas rumah adat Karo, walau bentuknya dipermodern. Hati sempat berdebar ketika Gedung Wanita Karo diruntuhkan. Untunglah Gedung Wanita Karo dibangun kembali meski bentuknya tidak seindah yang lama.

Bagi pengusaha jambur yang bertebaran di sepanjang jalan Letjen Jamin Gintings dan sekitarnya, jangan sampai meninggalkan ciri khas Karo. Bangunan pemerintah ataupun usaha swasta seperti restoran di Padangbulan sekitarnya disarankan bercirikan Karo. Minimal gapura ataupun pos jaga satpam. Demikian juga rumah atau pagar warga Karo sebaiknya ada ornamen Karonya.

Khusus rumah adat Karo mini di sisi kanan Istana Maimoon tempat bersemayam Meriam Puntung Putri Hijau, agar dimusyawarahkan sekaligus dihimpun penggalangan dana untuk dibangun permanen bercirikan Karo dan Melayu. Rumah adat Karo yang ada sekarang tampaknya kurang bagus dan kurang menarik. Dilihat sepintas bukan seperti rumah adat Karo.

Tergambar dengan jelas dari tulisan diatas, bahwa keberadaan warga Karo di Kota Medan tidak pernah lekang termakan oleh zaman. Mulai dari didirikannya dengan nama Madan sampai era modern saat ini yang kemudian berubah nama menjadi Medan.

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *