PAWANG TERNALEM BAGIAN 5

Sesuai perintah Datuk Rubia Gande, maka berangkatlah Pawang menuju rumah kakek di kampung Pertumbuken Lau Mbelin untuk memohon doa restu dan persiapan upacara sebagaimana diperisyaratkan menurut pembacaan kalender ( pengoge wari sitelupuh, paka sisepuludua). Pertemuan dengan kakek dan nenek tentulah sangat mengharukan. Bahkan berita tentang turunnya madu Tualang Simande Angin pun sudah sampai ke kampung dibawa oleh Perlanja Sira. Maka berkumpullah Sangkep Nggeluh Pawang Ternalem, sesuai aturan adat Merga Silima Tutur Si Waluh, Rakut si telu, Perkade-kaden Sepulusada tambah sada). Dipersiapkanlah seserahan kepada keluarga Pengulu Jenggi Kumawar dibawah pimpinan Pengulu Jandi Melasang. Inti dari perutusan ini adalah membawa dua khabar penting yakni, pertama bahwa Keluarga Pawang Ternalem secara resmi melamar Beru Patimar menjadi calon isteri Pawang. Yang kedua, bahwa acara resmi perkawinan dilaksanakan setelah satu musim kedepan, karena Pawang ernalem harus mengikuti ritual-ritual demi kelanggengan perkawinannya kelak.

Kedatangan Pengulu Jandi Melasang, pada dasarnya sudah diterima oleh kaum Kerajaan Jenggi Kumawar. Namun, untuk pengesahannya, Pawang harus ikut mengabdi di Rumah Pengulu sampai hari pernikahan tiba, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini disebut juga dengan Ngian-ngiani (berjaga-jaga).

Untuk kegiatan Ngulak akan dilakukan pada hitungan Paka Arimo (bulan Harimau ) warina Nggara Enggo Tula, yang kira-kira masih ada empat bulan sejak pengantaran lamaran itu. Karena itu, akhirnya Pawang mengalah dan berangkat kembali ke Jenggi Kumawar.

Ketika sampai di rumah Pengulu, semua gadis-gadis di mengintip dari jendela rumah panggung masing-masing, dan desa pun menjadi gempar karena Pawang Ternalem yang sebelumnya terlihat sangat buruk rupa, sekarang telah datang kembali dengan penampilan yang begitu menawan. Beru Patimar pun tidak mampu menahan gemuruh hatinya, dan ingin segera menjumpai Pawang.

Ketika malam tiba, Pawang ditemani Daram saudaranya berkunjung ke rumah Pengulu. Dan Pengulu mempersilahkan Pawang untuk memberikan nasihat-nasihat dan saling berdialog (siajar-ajaren) satu sama lain. Ini diperlukan agar keduanya kelak sudah memiliki saling pengertian dan saling mengenal lebih dalam. Terlebih lebih kedatangan lamaran Pawang tidak dari Ture (beranda/melalui proses pacaran) tapi dari Rumah (melalui proses sejenis perjodohan ).

“Impal, aku jelma so begu enggo reh.” (Gadis, aku manusia si mirip hantu sudah datang), kata Pawang sambil duduk di tikar. Beru patimar bersimpuh disudut lain. Mendengar suara Pawang yang bergetar, Daram diam-diam surut turun dari beranda dan turun ke Jambur tempat anak muda kampung berkumpul. Biar mereka punya privasi yang cukup pikir Daram.

“Ula bage nindu kaka. Aku pe erkadiola kal aku perbahan nggo sempat selpat rananku la mehuli.” (Janganlah berkata begitu kakanda, karena akupun sangat menyesali diri atas kelancanganku tempo hari). Kata Beru Patimar menyesali tingkah lakunya setahun yang lalu. Maka Pawangpun menceritakan riwayat hidupnya, didengarkan Beru Patimar dengan seksama. Semakin larut malam merayap, semakin dalam rasa simatiknya terhadap pemuda itu, yang hidup penuh derita, penuh perjuangan dan penuh kesabaran. Dan satu hal yang paling disesalinya adalah sikapnya yang begitu sombong (bhs karo : megombang), sampai mengatakan orang hina seperti pawang tidak layak tidur di tikar, maka digantinya pakai tikar alas kandang ayam. Kalau misalnya dia disuruh menetapkan apa hukuman atas kesombongannya, dia sendiri merinding bulu romanya memikirkannya. Tapi Tuhan maha kasih, Pawang adalah orang sabar dan lapang hati. Pertemuan malam itu membuat tekadnya semakin kuat untuk mempertahankan perjodohannya dengan Pawang.

Pawang dan Daram sekarang bekerja membuka lahan baru atas ijin Pengulu. Setelah pondok kebun selesai didirikan, dan tebasan pertama dan pembakaran telah selesai, Daram berpamitan kepada Pawang karena dia juga harus membantu Ibunya di desa Seberang Hulu. Tinggallah kin Pawang sendirian merambah belukar itu untuk dijadikan perkebunan kelapa dan memelihara sebagian nipah baik untuk atap rumah maupun untuk daun pembungkus tembakau. Semua ini tentunya untuk masa depannya dengan Beru Patimar . Biasanya menjelang tengah hari Bujang datang mengantar nasi dari rumah Pengulu Sedangkan untuk sarapan pagi dan makan malam dibuat sendiri oleh Pawang dengan perbekalan yang telah mereka persiapkan dengan Daram waktu awal merambah hutan.

Pada satu hari, karena Bujang mendapat pekerjaan mengawal Pengulu sesuai jabatannya sebagai Upas, maka oleh Istri Pengulu, disuruh Beru Patimar mengantar nasi ke kebun. Pawang sudah mengetahui hal itu dari Bujang sehari sebelumnya. Mengetahui akan kedatangan Beru Patimar, maka timbullah niatnya untuk menggoda gadis idamannya itu. Maka jalan menuju ponduknya ditebarnya dau-daun hutan yang beracun dan gatal seperti daun jelatang, daun siterkem dan rengas. Pawang menyadari kedatangan Beru Patimar, karena oborolan mereka terdengar ditepian hutan. Memang betul, Beru Patimar ditemani oleh dua orang bibinya (saudara perempuan Pengulu).

Ketika melihat banyak sekali daun jelatang disepanjang pematang menuju pondok Pawang, maka salah satu dari bibi itu berteriak memanggil Pawang.

“Pawang, kami sudah datang dengan Beru Patimar mengantar makan siangmu, jemputlah kami kesini.” Teriak bibi Beru Patimar.

“Masuk sajalah, makanannya letakkan di pondok.” Sahut Pawang.

“Tapi daun-daun ini sangat gatal Pawang. Kami takut kena getah dan miangnya.” Kata seorang bibi.

“Biar si Beru saja yang masuk. Kalau dia cinta, dia tidak akan terkena penyakit gatal. Tapi kalau dia pura-pura cinta, pastillah badannya gatal-gatal semua.” Kata pawang.

Maka kedua bibi itu menyuruh Beru Patimar masuk. Beru Patimar ragu, melihat daun jelatang yang begitu berbisa, dia ngeri. Belum menyentuh saja, kulitnya serasa sudah gatal semua.
“Abang Pawang jemputlah aku, aku takut.” Ujarnya gemetar mencari pijakan yang tidak terkena daun jelatang. Keringatnya menetes disekujur tubuhnya.

Begitu dia sampai dipintu ponduk, dilihatnya Pawang sedang membakar ubi. Pawang menggaitnya untuk masuk, tapi Beru patimar tetap berdiri di pintu dengan bungkusannya.”Cepatlah, bibi menunggu disana.” Ujarnya. Jantungnya bagai berpacu dengan suara binatang hutan yang menjerit-jerit tengah hari. Tapi Pawang masih tersenyum, dilepaskannya bulang-bulang (kain pengikat kepala), dan dikibaskannya rambutnya jatuh dibahu.

“Kau tidak ingin tahu, sampai dimana bakal batas kebun kita?” tanya Pawang.

“Sekuat satu orang laki-laki bekerja. Karena aku tidak pandai berkebun.” Ujar Beru Patimar. Hatinya berbunga-bunga mendengar perencanaan kebun itu. Kebun kita berdua, begitulah berngiang-ngiang di telinganya.
“Antar aku keluar, aku takut daun gatal ini.” Ujar Beru Patimar.

“Itulah, ujianmu tidak lulus. Mengapa kamu merisaukan daun berserakan ini. Bukankah dengan seikat ranting semak kamu bisa menyingkirkannya?” ucap Pawang. Lalu diambilnya dua batang perdu, diikat jadi satu, dipotongnya ujungnya menjadi rata, kemudian disapukannya ke jalan masuk pondok itu, sehingga semua daun telah tersingkir. Beru Patimar merasa sangat tolol, ketika dilihatnya pemecahan masalah yang dibuat Pawang sangat sederhana. Tapi dia hanya melengos, dan bergegas menemui bibinya. Sebenarnya kedua bibinya itupun tahu hal tersebut. Tapi sesuai pesan Pengulu, Beru Patimar harus didik lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab. Malam itu Beru Patimar bermimpi jumpa Pawang. Dalam mimpinya, terhampar daun jelatang yang sangat luas, dan Pawang menggendongnya menyeberangi daunan yang gatal itu. Beru Patimar merangkul pemuda itu dengan mata terpejam. Ia tertidur sambil tersenyum. (Bersambung)

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *