PAWANG TERNALEM BAGIAN 4

Sudah lima malam berturut-turut, Pawang meniup surdamnya diatas pohon Tualang Simande Angin. Dan tentang kejadian itu sudah terdengar ke seluruh pelosok kampung bahkan sampai ke kampung-kampung disekitar Jenggi Kumawar. Semua orang membicarakan tentang janji Pengulu Jenggi Kumawar. Siapa gerangan orang yang akan menurunkan madu lebah dari pohon Tualang Simande Angin. Beru Patimar pun sudah mulai gelisah, ingin mengetahui seperti apa sosok orang yang akan menjadi calon suaminya itu.
Maka ketika malam keenam tiba, dia bersama gadis-gadis lain dan beberapa ibu, sambil bercanda di beranda rumah Pengulu, menanti suara surdam yang sangat memilukan itu. Dan sebagaimana malam sebelumnya, suara surdam itupun mulai terdengar. Namun suara surdam itu malam ini berubah menjadi irama alunan perang. Rupanya Pawang sedang memerintahkan beberapa ekor lebah mendatangi rumah Pengulu, dan lebah itu telah terbang menuju beranda rumah Pengulu, serta merta menyengat bibir Putri Beru Patimar bagian atas. Kontan Beru Patimar menjerit-jerit kesakitan, dan merekapun kebingungan melihat jerit rintih Beru Patimar. Menjelang tengah malam, suara surdam itupun berhenti. Pengulu dengan isterinya sibuk mencari obat penawar bisa sengatan lebah Tualang Simande Angin. Tatakala subuh tiba, rintihan Beru Patimar mulai melemah. Bibirnya membengkak sampai ke kelopak matanya. Wajahnya begitu menyedihkan dan menggelikan. Sungguh tidak ada terlihat bekas wajah yang cantik tapi judes itu. Yang terlihat hanya wajah kesakitan dengan raut wajah membulat seperti balon. Setiap kali teman-temannya yang datang menjenguk tertawa geli melihat bentuk wajahnya, dia pun makin jengkel dan putus asa. Beberapa tabib dan dukun telah diundang, tapi pengaruh racun sengat lebah itu tidak bisa segera dihilangkan.
Maka malam ketujuh, malam bulan purnama, tibalah saatnya Pawang menurunkan kepala madu lebah Tualang Simande Angin. Dipancungnya sarang lebah itu sepertiga dari bawah, yang konon berisi lebah berwarna putih susu. Kemudian besok pagi disuruhnya si Daram megantarkan kepala madu itu berikut carangnya ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar. Semula Beru Patimar menyangka si Daramlah yang menurunkan kepala madu itu. Tapi mendengar percakapan dengan ayah dan ibunya, barulah dia tahu bahwa ada orang lain, yakni saudara sepupu si Daram. Si Daram menjanjikan besok senja seluruh madu dari Tualang akan diturunkan dan akan diantar ke rumah Pengulu sekali gus menunaikan janji Pengulu tentang perjodohan anaknya Beru Patimar. Disamping itu, si Daram juga menyampaikan pesan bahwa orang yang menurunkan madu ini akan membawa obat atas penyakit Beru Patimar. Beru Patimar sendiri karena malu, tidak mau menjumpai si Daram di beranda rumah.
Dia merasa senang sekaligus kebingungan dengan keadaannya. Bagaimana dia besok menjumpai sang teruna itu, dengan wajah bengkak dan bibir monyong begitu.
Keesokan harinya, berangkatlah Daram dengan dua orang pemuda desa Seberang Hulu, diiringi Pawang Ternalem, membawa madu Tualang Simande Angin ke rumah Pengulu. Disana tua-tua adat telah menunggu demikian juga penduduk sekitar rumah pengulu. Maka diserahkanlah (enem tongkap tengguli lebah ras dua ndiru cambang aringgenang) madu itu dalam enam bumbung bambu, serta cangkang madu dua gugus, sebagai tanda pemenuhan persyaratan untuk melamar Putri Beru Patimar. Maka tua-tua kampung itu bertanya : Ndigan reh sangkep nggeluhndu, entahpe kin anakberundu guna ngarihken perjabundu ras Beru Patimar (Kapan utusan keluargamu datang untuk membicarakan perihal pelamaranmu terhadap Beru Patimar). Maka jawab Pawang, berhubung karena dia anak yatim piatu, sementara kakeknya tinggal ditempat yang sangat jauh, maka untuk urusan melamar akan dilakukannya sendiri, dan yang mewakili orang tua adalah gurunya Datuk Rubia Gande. Kemudian dia minta dapat bertemu dengan Beru Patimar untuk mengobati sakitnya. Pada awalnya Beru Patimar sangat keberatan untuk keluar, tapi karena rasa ingin tahu tentang siapa pemuda yang akan menyuntingnya itu, dia pun keluar. Begitu dia melihat pemuda itu, diapun teringat dengan perjumpaannya setahun sebelumnya. Maka diapun menolak mentah-mentah. Dia tidak mau dipertunangkan dengan manusia yang tampangnya lebih buruk dari hantu. Tapi janji raja harus ditepati, sebab kalau raja sudah tidak menepati janjinya. Bagaimana dengan rakyat. Maka dengan berat hati, keluarlah Beru Patimar dari kamar, menghadap laki-laki buruk rupa itu. Maka Pawang pun mengusapkan telapaknya ke wajah gadis itu, menyerap racun lebah yang telah menyengatnya, dan sesaat mulailah kempes, dan rasa nyeri yang berdenyut berangsur hilang. Lepas magrib, Pawang minta pamit, dan menjanjikan sebulan kedepan, dia akan haduir bersama gurunya untuk menuntaskan rencana perkawinannya. Beru Patimar telah sembuh dari sakit sengat lebah, dan mengenang jasa pemuda itu dalam menyembuhkan penyakitnya, senang juga hatinya. Namun jika dia teringat dengan wajah buruk pemuda itu, rasa kecewanyapun semakin membekas.
Sehari setelah penyerahan madu itu, Pawang berpamitan kepada bibinya, untuk segera menuju Srenggani, melaporkan rencana perkawinannya. Maka malam itu juga dengan menunggangi si Rimau, dia segera sampai di pertapaan. Dijelaskannya semua duduk perkara perjodohan itu, yang semula dilatar belakangi penghinaan yang amat sangat. Tapi Datuk Rubia Gande tidak menunjukkan rasa gembira. Wajahnya mendung dan sangat-sangat murung. Melihat wajah gurunya begitu murung, Pawang menjadi tegang, dan cemas.
“Apa kiranya sebabnya Datuk merasa gundah. Apakah memang aku tidak diijinkan mempersunting anak pengulu itu ?” tanyanya.
“Bukan itu masalahnya. Perhitungan hari kelahiranmu dengan gadis itu tidak serasi. Halngannya besar. Besar sekali. Karena kalau dipaksakan perkawinan ini, usianya tidak lama . Artinya salah satu diantara kamu akan mati.” Ujar Datuk.
“Apakah tidak ada jalan keluar Datuk ?” tanya Pawang cemas.
“Ada, kau harus diuras, pulahi kahul, persilihi. Untuk semua ini membutuhkan waktu satu musim.” Ujar Datuk.
“Biarlah Datuk. Saya bersedia melaksanakan itu semua.” Kata Pawang. Maka esok harinya Pawang disuruh mengumpulkan bahan penyamak agar semua getah-getahan dibadan dan rambutnya dilepaskan. Siang harinya Pawang dibawa ke pancuran di tepi Srenggani, dan oleh Datuk dicucilah semua samak biring yang melapisi kulit Pawang demikian juga dengan rambutnya, sehingga rambutnya semula gimbal kini halus terurai dan kulitnya yang semula hitam legam telah berubah menjadi sawo matang. Maka Pawang Ternalem telah berubah menjadi pemuda yang gagah dan tampan.(Bersambung)
Kamus:
Tongkap : Bumbung bambu biasa untuk menampung air nira.
Ndiru : Alat penampi, Niru, Tampah (terbuat dari anyaman bambu).
Sangkep nggeluh : Unsur-unsur dalam adat, keluarga.
Anak beru : Bagian pesuruh secara adat.
Diuras : Diupah-upah, mandi pembuang sial.
Pulahi Kahul : Buang nazar, berupa pelepasan hewan di tempat tertentu/keramat sebagai pembayar roh yang hidup. Biasanya yang dilepas adalah ayam jantan putih atau kambing putih.
Persilihi : Upacara melepaskan semua penghambat keberuntungan, buang sial. (Bersambung)

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *