PAWANG TERNALEM BAGIAN 3

Setengah hari perjalanan dari Jenggi Kumawar ke Desa Seberang Ulu, Pawangpun sampai di rumah bibinya. Kematian pakcik yang menjadi sumber kedukaan bibinya selama ini, tersentuh kembali dengan kedatangan Pawang. Pawang dan Daram saudara sepupunya berusaha menghentikan tangis bibinya yang semakin terlara-lara. “Kita harus kembali ke dunia nyata bi. Kematian Pak Cik adalah sesuai dengan suratan tangannya. Aku dan Daram masih bisa membantu bibi, menjaga bibi. Toh aku juga tidak mempunyai siapa-siapa. Ayah dan ibuku bahkan tidak bisa kubayangkan bentuk wajahnya.” Ujarnya. Si Bibi juga dapat memaklumi keadaan Pawang, dan dia ingin Pawang dan Daram dapat menjadi saudara sejati dalam suka dan duka, dalam untung dan malang.
Begitulah, selanjutnya Pawang tinggal di desa itu. Orang-orang melihat Pawang sebagai orang yang buruk rupa, tapi rajin dan baik hati. Beberapa kali Daram berkelahi dengan pemuda kampung karena tak tahan dengan ejekan orang orang atas kejelekan saudaranya. Tapi Pawang selalu mengingatkan bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Mendengar nasehat abangnya, Daram pun mengalah. Tapi dia kadang-kadang tidak habis fikir, abangnya yang sakti itu kok diam saja diolok-olok dan dipermalukan orang. Bahkan dia pernah mempertanyakan masalah itu kepada pawang. Tetapi Pawang diam saja dan menyimpannya didalam hati.
Sudah menjadi kebiasaan Pawang mengambil madu dari hutan untuk dimakan dan dijual kepada pedagang yang datang ke desanya. Semenjak kehadiran Pawang, keadaan ekonomi mereka membaik, karena Pawang dapat memberikan penghasilan dengan mengambil hasil hutan yang nampaknya ringan seperti madu, getah jelutung dan kulit-kulit kayu yang dibutuhkan para pedagang.
Setahun keberadaan Pawang di desa Seberang Hulu, tibalah musim panen. Musim panen bersamaan dengan musim berbunga tanaman hutan, dan musim madu. Salah satu sarang madu yang sangat terkenal adalah madu dari lebah yang bersarang pada sebuah pohon ditepi kampung Jenggi Kumawar yang dikenal dengan nama Pohon Tualang Simande Angin. Pohon Tualang ini memang sangat tinggi, mencapai lima puluh depa orang dewasa. Maka setiap kali angin berhembus, dia akan bergoyang, maka disebut Tualang Simande Angin.
Mundur kisahnya tiga tahun kebelakang, tatkala Putri Beru Patimar berumur tujuh belas tahun, oleh Raja Pengulu Jenggi Kumawar sudah diumumkan bahwa siapa saja pemuda yang mampu menurunkan kepala madu Tualang Simande Angin ke hadapan raja, maka dia berjodoh dengan Puteri Beru Patimar. Dan musim panen yang keempatlah saat Pawang sudah tinggal setahun di Desa Seberang Hulu. Maka diceritakannya lah niatnya hendak menurunkan madu dari Tualang Simande Angin, sebagai modal untuk menundukkan Beru Patimar. Mendengar kemauan kemanakannya, si bibi sangatlah gundah hatinya. Karena mengambil madu dari Tualang Simande Angin sama dengan menyerahkan nyawa. Sudah berpuluh puluh pemuda yang terhempas jatuh dari pohon itu, membuang nyawa demi memperebutkan Putri Beru Patimar yang cantik jelita itu. Lagi pula bibinya berfikir, bagaimana mungkin kemanakannya yang jelek itu disandingkan dengan gadis cantik puteri raja. Tapi tekad Pawang sudah bulat, dan pas ketika bulan sudah besar, jalan desa terang benderang. Pawang mengajak Daram berangkat menuju Tualang Simande Angin dengan membawa surdam.
“Bukannya kita bawa parang, abang malah membawa surdam?” tanya daram keheranan.
“Ayolah ikut saja, nanti disana semuanya akan menjadi mudah.” Bujuk Pawang.
Ketika sampai ketempat yang dituju, Daram merinding ketakutan, karena begitu banyak tengkorak berserakan disekeliling pohon itu.
“Bang, kalau abang naik keatas, aku tidak berani disini sendirian. Begini banyak tengkorak berserakan, pastilah arwahnya menjadi hantu penasaran, bergentayangan.” Ujar Daram. Pawangpun memaklumi perasaan saudaranya, maka diantarnyalah Daram kembali ke Kampung. Kemudian dia kembali ke Tualang Simande Angin ditemani Si Rimau yang telah ikut bersama Pawang saat terakhir Pawang mengambil madu di hutan. Lagipula, sebenarnya kepulangannya kerumah karena ia lupa membawa benang arang.
Begitu Pawang sampai di pohon itu, bulan sudah naik cukup tinggi, maka oleh Pawang dilemparkannya tulang benang arang itu keatas pohon, maka tiada lama kemudian bibi si Beru Jerai Nguda sudah ada diatas pohon itu sambil tertawa halus.
“Anakku, hari ini engkau memanggilku tanpa perjanjian. Ada apa yang engkau perlukan?” tanya bibi dari atas dahan Tualang.
“Bibi, aku hendak naik keatas pucuk Tualang Simande Angin ini, tolong bibi tahan angin yang kencang ini supaya diam. Supaya aku dapat naik dengan selamat.” Demikianlah permohonan Pawang kepada bibinya. Maka si beru Jerai Nguda meluncur ke pucuk pohon dan disapanyalah angin sikaba-kaba agar berhenti sejenak. Melalui benang arang yang telah ditarik sempai ke pucuk Tualang, Pawang memanjat dampai dahan terakhir, mencari tempat duduk yang nyaman. Kemudian ditiupnya surdamnya dengan penuh perasaan, terlebih-lebih teringatlah dia dengan nasibnya yang sangat malang. Terdengarlah suara surdam itu ke seluruh penduduk Jenggi Kumawar. Keluarlah para gadis-gadis dan ibu-ibu dari rumahnya, berjumpa satu sama lain membicarakan kemerduan dan kesyahduan suara surdam itu. Penuh rasa pilu dan menyayat hati.
“Siapakah gerangan yang meniup surdam itu, terharu hatiku dibuatnya.” Kata seorang ibu kepada yang lain.
“Nampaknya dia mengalami hidup yang sangat menyedihkan. Iramanya pun mendayu-dayu sangat menyayat hati.” Kata yang lain.
Sejenak Pawang berhenti meniup surdamnya, dipandanginya seluruh hamparan kampunh dan sawah serta hutan dikejauhan. Ke arah Barat terlihat awan putih dikaki langit ditimpa cahaya rempulan, terkenang akan nasibnya ditinggalkan ayah dan ibu. Hidup terbuang, sampai di tanah rantau Jenggi Kumawar, mendapat hinaan yang sangat menyakitkan. Tanpa disadarinya menetes air matanya didalam keremangan sinar rembulan. Dan bersenandunglah dia dengan penuh pilu.
“Oh ayah, ibu … yang tak sempat kukenal, kurasakan hidupku ibarat i sebatang pohon pisang yang hampir mengering ditengah ladang yang sudah ditinggalkan pemiliknya, daunku compang camping diiris iris angin, pucuknya hangus dibakar matahari, putiknya kuncup tak berisi, jantungnya mengecil menciut, keberadaanku yang menyendiri menyesali nasib yang telah digoreskan sang maha pencipta.”
Hampir semua ibu ibu yang turun ke bereanda rumah mengusap air mata, terharu dengan senandung yang sangat memilukan itu. Lewat tengah malam, Pawang turun kembali, dan pulang ke rumah bibinya. Dia tidak mengambil apa-apa dari pohon Tualang Simande Angin itu.
Malam berikutnya, dia kembali memanjat pohon itu, dan para gadis gadis dan ibu ibu yang mendengarkan suara surdam itu, seharian membicarakannya, dan tentunya menunggu lagi malam berikutnya. Malam ini Beru Patimar ikut keluar dari beranda rumahnya, ditemani beberapa gadis. Dengan seksama mereka mendengarkan suara surdam itu, dan kembali ada bilang-bilang yang semakin menyayat hati. Tak terasa airmata Beru Patimar pun menggenang, mau diusap dia malu, tapi kalau dibiarkan menetes juga nanti ketahuan. Maka dikucek-kuceknya matanya. “Ih…nyamuk nakal, masak masuk ke mata.” Ujarnya. Tapi teman-temannya tahu bahwa Beru Patimar juga terhanyut dengan buaian suara surdam itu.
“Bilang saja sedang terharu. Nggak usah malu.” Kata kawannya. Tapi dia menyangkal, dan pura-pura tidak tertarik dengan suara surdam itu. Merasa kalah dari teman-temannya maka diapun cemberut dan masuk kedalam rumah. Tapi hatinya bertanya-tanya, siapa kira-kira yang sanggup menaiki Tualang Simande Angin itu ? Apakah jodohku sudah dekat ? Begitulah hatinya berkecamuk, dan malam itu dia tidak tertidur sampai subuh. (Bersambung)

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *