PAWANG TERNALEM BAGIAN 2

Setahun sudah, Pawang berguru kepada Datuk Rubia Gande di air terjun Srenggani. Kini dia dilatih oleh Datuk untuk mengenali rimba dengan segala penghuninya. Di rimba, banyak binatang yang menurut manusia tidak baik didekati. Misalnya harimau, ular, buaya, dan binatang-binatang lain yang kerap diandaikan mempunyai sifat yang membahayakan bagi manusia. Tapi Pawang dalam perkembangan kedewasaannya, semakin akrab dengan segala jenis binatang rimba. Dan pemahaman itu juga dikaitkan dengan pengenalan akan tumbuhan liar di rimba. Contohnya, pohon jelatang, ada juga yang mereka sebut pohon siterkem yang getahnya sangat beracun dan dapat membuat tubuh kita hangus berborok. Lainnya misalnya buah enau, bergetah sangat gatal. Dan kalau kita terkena getah buah enau, obatnya adalah diusap pakai ijuk enau itu sendiri. Beribu-ribu jenis tumbuhan yang merupakan racun sekali gus obat yang dipelajari oleh Pawang, sehingga dia tidak pernah ragu sekalipun ular lidi yang sangat berbisa itu menggigitnya. Tubuhnya juga sudah dikebalkan terhadap racun, dengan meminum ramuan daun dan kulit kayu yang direbus dengan periuk tanah. Pawang sudah menammatkan empat tingkatan yakni ilmu pencak silat, ilmu berkomuninkasi dengan binatang rimba, ilmu pengenalan tanaman yang bersifat racun dan obat serta ilmu filsafat atau adat istiadat hidup bermasyarakat. Rimba belantara itu sudah menjadi rumah yang indah bagi Pawang. Dan semua ilmu itu didapatkan karena persahabatannya yang sangat baik dengan si Rimau, macan yang belangnya menyatu di pusar, yakni Harimau Kembaran saudara kembar nenek moyangnya. Ilmu silatnya sudah matang berkat ketekunannya berlatih dengan si Rimau, kadang-kadang dia terluka oleh cakaran macan itu, tapi segera bisa disembuhkan karena obatnya sungguh banyak di hutan.
Empat puluh purnama sudah dijalani, tibalah saatnya berpisah dengan Datuk. Bagaimana dengan si Rimau ? Kalau si Rimau dibawa ke kota, pastilah gempar. Orang-orang akan ketakutan dengan kehadiran raja rimba itu. Maka keberangkatan Pawang meninggalkan Srenggani, menuju desa Sapo Padang yakni perjumpaan Lau Biang (Sungai Wampu) dengan Lau Simbelin. Disana ada dataran tempat kakeknya bereta keluarga yang lain menanam kelapa, nipah, nangka dan tanaman yang dibutuhkan sehari-hari. Disana juga ada pertapaan, tempat kakek Pawang (Penghulu Tanah Ketangkuhen) menimba kesejatian hidup. Ada juga Pancur Perpangiren, sebuah taman bunga-bungaan dan daun-daunan dengan tiga buah pancuran yang berair sejuk, yang airnya kemudian mengalir ke sungai. Daun-daunan itu disebut juga bulung-bulung simalem-malem sedangkan bunga-bungaan itu disebut rudang-rudang simelias gelar sebagai kelengkapan dalam upacara memberikan kehormatan kepada nenek moyang yang telah mewariskan kehidupan. Hampir setahun lamanya di pertapaan itu, Pawang mendapat pendidikan lanjutan dan pewarisan seluruh harta, ilmu, dan pengetahuan termasuk sejarah dan pusaka Sembiring Kembaren dari Dusub Ketangkuhen yang masih tersisa. Ada pusaka yang sangat dia dambakan yakni pusaka yang dibawa oleh ayah Pangeran Kembar (yang kemudian menjadi Simbiring Kemaren) dari negeri Sriwijaya, yakni Pisau Balabari dan Cap Sembilan (pisaunya berbilah dua atau kembar dan cap sembilan berbentuk bintang dengan sembilan sudut runcing). Pusaka itu konon dititipkan di Danau Toba, ketika mereka berkunjung ke rumah Silalahi Raja di Silalahi dekat Paropo di tepian Danau Toba sebagai tanda persaudaraan. (Kenyataannya, Sembiring Kembaren sampai saat ini tetap diakui saudara oleh keturunan Silalahi Sabungan atau bermarga Silalahi). Semua harta benda itu diterima Pawang Ternalem, dan disimpan kembali di pertapaan. Setelah Pawang merasa cukup, maka diapun berangkat menelusuri Lau Biang, menuju pusat kerajaan Haru. Sampai di pusat kebudayaan itu, dia bertanya kepada pedagang garam tentang keberadaan bibinya yang dulu pernah hendak menjemput dia dari kampung pada masa kecil. Menurut pemberitahuan kakeknya, suami bibinya itu adalah pedagang garam dan sirih pinang di kota Haru. Menurut informasi dari para pedagang sirih pinang, suami bibinya itu telah meninggal dunia. Bibinya bersama seorang anaknya bernama Ndaram pindah ke Kerajaan kecil (kejurun) bernama Jenggi Kumawar ditepian Lau Bingei ( Sungai Bingei). Maka berangkatlah Pawang menuju Kejurun Jenggi Kumawar menembus hutan antara au Biang dengan Lau Bingei. Begitu dia sampai di desa itu, dia langsung menuju rumah Pengulu (raja). Ketika dia mau naik ke beranda rumah itu, dan berhadapan dengan seorang gadis, yang sangat cantik jelita. Begitu terpesonanya Pawang dengan kemolekan gadis itu, sehingga ia sampai terbengong, dan lupa memberi salam. Gadis itupun melihat Pawang terperangah, dan tiba-tiba lari tergopoh-gopoh melalui tangga yang lain dan menjerit-jerit minta tolong.
“Toloooong, tolooooong ada hantuuuuuuuuu.” Katanya menjerit-jerit.
Mendengar jeritannya, maka keluarlah Pengulu Jenggi Kumawar, karena ingin tahu apa sebabnya anak gadisnya menjerit-jerit. Dihadapannya berdiri seorang laki-laki hitam rembutnya gimbal kulitnya berkerak bersisik, memang mirip dengan hantu. Sambil meletakkan bungkusannya Pawang memberi hormat. “Sentabi Raja, aku Pawang Ternalem, seorang pengembara, minta ijin menumpang satu malam ini karena hendak mencari sanak saudaraku di negeri tuan ini.” Ujarnya sambuil mengaturkan sembah secara orang Melayu.
“Mari, silahkan naik kerumah.” Kata Pengulu Jenggi Kumawar. Kemudian dipanggilnya su Bujang, pembantunya untuk memanggilkan iasterinya dan anaknya. Rupanya isteri Pengulu ikut keluar dari belakang mengejar Putri Beru Patimar, yang telah masuk ke rumah tetangga. Tanpa kesulitan si Bujang sudah mengetahui kemana kira-kira gadis itu pergi. Maka tak lama kemudian dia telah berhasil membawa anak gadis bersama ibunya naik kerumah.
“Ini isteriku, dan ini anakku namanya Putri Beru Patimar.” Ujar Pengulu memperkenalkan anak dan istrinya. Pawang menghaturkan sembah, tapi putri Pengulu itu tidak mau mendekat. Ditunjukkannya rasa tak senang menjurus jijik melihat penampilan Pawang. Pada zaman itu, rumah Penghulu memang tempat menumpang berteduh dan menginap bagi pengembara. Jadi wajar saja rumah Pengulu didatangi tamu dari luar desa.
“Tolonglah kalian masakkan makan malam kita. Biarlah si Bujang mengambilkan ikan di kolam.” Kata pengulu. Maka berangkatlah si Bujang ke kolam. Rupanya Pawang ingin tahu juga bagaimana cara si Bujang menangkap ikan, maka merekapun berangkatlah berdua.
Sepulang dari kolam, dirumah tinggal Putri Beru Patimar sendirian. Sedangkan Pengulu jenggi Kumawar dengan isterinya berangkat ke desa sebelah mengadakan rembugan kenduri besar ahir panen.
Begitu jijiknya Putri Beru patimar kepada Pawang, sehingga dia menghidangkan makan untuk Pawang dengan Pelangkah Biang (tempat makanan anjing peliharaan), dan malamnyapun disuruh tidur dengan Apar-apar Lipo (tikar alas kandang ayam). Pawang menerima penghinaan ini dengan ikhlas. Keesokan harinya, subuh-subuh dia telah ikut membantu Bujang membelah kayu untuk kayu bakar. Kemudian, setelah diberi Putri Beru patimar dia sarapan pagi dengan Pekangkah Biang itu, diapun mengambil bungkusannya dan mohon pamit kepada Pengulu. Rencananya akan pergi ke perladangan diseberang sungai, karena dia mendengar bahwa bibinya dan saudara sepupunya itu tinggal disana. Maka berangkatlah dia, dengan perasaan teraduk-aduk, antara kekagumannya atas kecantikan Putri Beru Patimar, dan sakit hatinya diperlakukan seperti binatang. (Bersambung)

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *