PAWANG TERNALEM BAGIAN 1

Alkisah, kira kira sepuluh abad yang lalu, terlahirlah seorang anak laki-laki dalam sebuah keluarga persis saat matahari berada diatas ubun-ubun. Kalau menurut penanggalan hindu kuno, hari kelahiran anak laki-laki ini adalah sehari setelah malam bulan purnama, yang disebut Tula. Menurut kepercayaan, orang yang dilahirkan pada hari setelah bulan purnama akan membawa kesialan ditengah-tengah keluarga. Karena dia membawa aura raja yang sangat kuat dan dapat mencelakakan ayah ibunya. Memang benarlah seperti ramalan itu, empat hari setelah kelahirannya, ibundanya pun meninggal dunia. Tujuh hari setelah kelahirannya, ayahandanya pun meninggal pula. Maka anak laki-laki inipun dipelihara oleh kakek dan neneknya. Hari kematian ayahandanya bersamaan waktunya dengan upacara mandi ke pancuran yang pertama bagi anak laki-laki ini dan selanjutnya diberi nama. Upacara ini disebut Pitu Layo, alias tujuh hari pertama untuk menuju air. Oleh pamannya yakni suadara laki-laki ibunya, anak laki-laki ini dinamai PAWANG TERNALEM. Pengertiannya kira-kira, pawang yang dapat diandalkan. Pawang begitu kental dalam kehidupan mereka, karena sebenarnya habitat kehidupan mereka adalah disekitar belantara Bukit Barisan, yang sekarang dikenal dengan nama Taman Nasional Gunung Leuser. Kampung yang mereka dirikan merupakan tempat persinggahan Perlanja Mayang orang yang membawa pinang dari dataran bagian hulu daerah aliran Sungai Wampu, yang sekarang dikenal dengan Dataran Tinggi Karo, untuk dijual di bandar atau kota kerajaan di dataran rendah dimana Sungai Wampu bermuara, yang disebut dengan Kerajaan Haru. Sebaliknya mereka akan kembali ke gunung dengan membawa (memikul) garam untuk diperjual belikan pula di Dataran Tinggi Karo. Jarak lurus dari pusat kebudayaan di hulu dengan Kerajaan Haru hanya sekitar lima puluh kilometer, namun karena jalan yang mereka tempuh berliku-liku mengikuti punggung bukit dan lereng lembah ditengah hutan rimba belantara, maka perjalanan itu kadang kadang ditempuh dalam satu minggu. Maka kampung kelahiran Pawang Ternalem yang dikenal dengan nama Pertumbuken Lau Simbelin, adalah jarak tempuh tiga hari baik dari Haru, maupun dari Karo.
Tanpa ayah dan ibu, dan karena diyakini membawa sial, Pawang tidak diurus oleh kakek dan neneknya. Sekali waktu, seorang wanita dengan seorang anak laki-laki yang seumur dengan Pawang datang ke kampungya, rupanya wanita itu adalah kakak dari ibunda Pawang. Wanita itu meminta kepada kakek Pawang, agar Pawang dapat dibawanya ke hilir (ngkahe) agar hidupnya dapat lebih terurus. Tapi kakek Pawang tidak memberi izin, dengan alasan anak ini membawa bencana kepada orang-orang yang ada didekatnya. Jadi jika dia ikut dengan bibinya, dicemaskan akan mendatangkan malapetaka pula. Maka Pawang tidak jadi dibawa bibinya ke hilir. Beban hidupnya semakin berat
Kalau ada rombongan Perlanja Mayang yang singgah dikampunya, Pawang selalu membantu mereka menjaga barang bawaan, menyediakan perapian dan membantu mencari binatang buruan untuk bekal diperjalanan. Pawang pun mendapat upah yang layak, dan juga mendapat kain tenun yang bagus. Pawangpun tumbuh menjadi remaja yang berparas tampan dan gagah. Memang sudah berkali-kali Pawang bermohon untuk disertakan memikul pinang ke kota, tapi para pemikul menolak secara halus. Mereka bukan tidak senang dibantu Pawang, namun cerita nasib si Pawang sebagai pembawa sial itulah yang membuat bereka menolak.
Namun, satu ketika, Pawang telah mengambil keputusan akan mengikuti rombongan perlanja itu ke hilir. Dari jauh diikutinya jejak mereka. Rupanya kelompok perlanja menyadari bahwa mereka sedang dikuntit dari belakang. Mak ketika jumpa dengan jalur perjalanan gajah ditengah belantara, maka jalur jalan setapak yang biasa mereka jalani ditutup dengan ranting-ranting kering, sehingga terkesan jalan itu menyatu dengan jalur pergerakan binatang rimba itu. Dan, ternyata Pawang terkecoh, dan dia menelusuri jalur perjalanan gajah, semakin lama semakin masuk kedalam rimba belantara. Setelah hari mulai gelap, Pawang mulai ragu, apakah meneruskan atau kembali ke kampung. Jarak yang ditempuh sudah sehari perjalanan. Entah bagaimana, tiba tiba dia melihat sinar cemerlang dari hadapannya. Dia menyadari, ini adalah harimau. Harimau itu menggerutu, kemudian menggaris tanah dua kali dengan kuklunya yang tajam. Kemudian berjalan dengan gontai, dan menoleh kembali kearah Pawang. Bulan bersinar disela-sela tajuk daun kayu rimba. Pawang memutuskan mengikuti harimau itu. Inilah perjudian hidup, kalau dia memang moyangku aku akan selamat, tapi jika tidak, biarlah hidup sampai disini, gumamnya dalam hati. Sambil menggeram harimau itu berbelok kearah jalan setapak yang lebih sempit, dan Pawang menyusul. Hampir subuh, mereka tiba di satu air terjun, yang dikenal dengan nama Srenggani. Harimau melompat menyebarangi jurang dan berlari kearah dataran sempid disisi air terjun. Pawang tersadar, rupanya di air terjun itu sedanh duduk seorang laki laki tua yang berambut panjang. Dia teringat dengan cerita para perlanja, inilah datuk yang menguasai seluruh binatang liar dihutan rimba ini. Maka diapun mendekat ke tepian sungai dan menyampaikan salam hormat.
“Sentabi Datuk, aku Pawang Ternalem cucu dari Penghulu Tanah Ketangkuhen.” Sambil menunduk-nundukkan kepalanya menekur ke tanah.”Oh ya aku tahu. Kakekmu sudah menghubungi aku, maka kusuruh si Rimau menjemputmu.” kata kakek itu. Pawang menatap laki-laki tua itu dalam-dalam. Di dunia ruimba, dia dikenal dengan nama Datuk Rubia Gande.
“Dengan kedatanganmu, namaku menjadi bertambah. Sebab atas permintaan kakekmu, dan tradisi kita, kaupun harus kuangkat menjadi ajar-ajar (murid). Si Rimau memang sudah lama kujanjikan tentang kedatanganmu, begitu juga bibimu si Beru Jerai Nguda. Mereka akan menemanimu sampai waktunya kau meninggalkan gelanggang.” Ujar kakek tua itu. Pawang baru menyadari bahwa ceritra yang diperdengarkan oleh Datuk di kampung memang nyata adanya. Bahwa nenek moyangnya dahulu setelah melarikan diri dari Kerajaan Sriwijaya, merantau ke hulu Batanghari, akhirnya tidak tahan mengembara di hutan berlayar sampai ke Sungai Alas. Memperisteri seorang puteri Kejuruhan Batu Mbulan Negeri Samudera Pasai, mendapatkan anak kembar tiga, yakni satu harimau, satu umang (orang halus) dan satu lagi manusia biasa. Yang hidup sebagai manusia biasa itulah yang menjadi asal muasal Merga Sembiring Kembaren. Si Rimau berarti keturunan kembaran buyutnya itu, dan juga si Beru Dayang Jerai Nguda, adalah mahluk halus itu. Untuk meyakini cerita itu, dia bertanya kepada Datuk Rubia gande.
“Jadi aku ini keturunan Simbiring Kembaren Datuk ?” dan datuk pun mengangguk.
“Jangan kau sesali nasib. Kematian ayah dan ibumu, serta keputusan kakekmu membuang engkau kedalam rimba, adalah sesuai dengan perjanjian secara turun temurun. Itu semua demi keselamatan orang banyak. Untuk itu kau harus di Uras dan persilihi biar lepas semua kesialan dari kelahiranmu.” Kata kakek itu. Pawang pun setuju.
Maka oleh datuk, digosoklah tubuh dan wajah Pawang dengan getah-getah tanaman hutan sehingga bentuknya menjadi sangat menakutkan. Disamping sebagai anti nyamuk, lintah dan pacat, juga menghindari gigitan binatang berbisa seperti ular, lipan dan kalajengking. Malai hari itu, Pawang sudah belajar menjadi pendekar dan sekaligus calon Datuk yang akan mengendalikan pergaulan antar binatang buas didalam rimba. Sesuai dengan namanya, Pawang Ternalem. (Bersambung).

This entry was posted in Cerita (Turi - Turin). Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *