DELENG KUTU, HATI-HATI DENGAN CABAI RAWIT

Sabtu, 8 November 2008 | 10:00:48
Anda mungkin pernah mendengar hewan kecil yang gatal bernama kutu. Nama binatang penghisap darah ini rupanya menjadi salah satu nama gunung di Tanah Karo, Sumatera Utara. Persisnya di Desa Guru Singa, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, provinsi Sumatera Utara , Indonesia. Gunung Kutu tidak kalah uniknya dengan sejumlah gunung populer lainnya yang berada di Tanah Karo. Padahal gunung ini tidak setinggi Sibayak dan Sinabung, namun panorama alam yang dimilikinya cukup mempesona.
Deleng Kutu, demikian masyarakat lokal menyebut gunung yang memiliki ketinggian sekitar 1.300 mpdl ini. Dilihat dari kejauhan, deleng (gunung dalam bahasa Karo) itu memang mirip kutu. Mungkin itulah sebabnya masyarakat sekitar menyebutnya Gunung Kutu.

Dalam pendakian gunung yang memiliki tantangan tersendiri ini, aku bersama Esra Surbakti, Rian Ginting dan Jhon Ginting mengawali perjalanan dari sebuah desa di sekitar kaki gunung, Desa Lingga Julu.
Perjalanan yang dimulai sejak sore hari itu dibayang-bayangi mendung dan kabut. Setelah beberapa puluh menit berjalan selepas Desa Lingga Julu, kami sudah menyaksikan permukaan Gunung Kutu. “Memang mirip kutu ya?” celetuk Rian sambil menunjuk ke sebuah gundukan hijau kebiruan yang masih terlihat kerdil di hadapan kami.

Sejenak kami berhenti memandangi gunung imut itu. Sembari mengabadikan gunung, beberapa teman melototi kerumunan sapi yang sedang melahap rumput. Mungkin mereka jarang menemukan suasana seperti ini di kota, pikirku.
Perjalanan dilanjutkan ke Desa Guru Singa. Di jantung kampung ini, terdapat sebuah rumah adat Karo yang kondisinya cukup memprihatinkan. Kami berupaya masuk ke rumah siwaluh jabu (delapan keluarga) itu melalui jendela yang hampir ambruk. Kondisi dalam rumah adat yang dulu dihuni delapan keluarga ini kayak kapal pecah. Di sana-sini terlihat onggokan pakaian dan barang bekas yang sudah kumuh. Menurut salah seorang warga, sejak sepuluh tahun silam rumah peninggalan nenek moyang orang Karo tersebut memang sudah kosong lantaran keluarga yang dulu menghuninya sudah pindah. Sejak itu, tidak ada upaya Pemkab Karo mengkonservasi bangunan tradisional ini sebagai salah satu situs pariwisata yang tidak ternilai harganya.
Pintu Rimba.

Puas menyaksikan kehancuran siwaluh jabu, perjalanan dilanjutkan ke pintu rimba. Tapi gerimis sudah mendahului kami sebelum sampai di pintu masuk itu. Di sinilah kami ditantang memanjat betis gunung setinggi 2,5 meter. Berhasil melewati tantangan ini dengan bantuan akar pohon, kami menemukan jalur yang cukup menantang pula. Jalur pendakian ke Gunung Kutu memiliki medan yang lumayan sulit. Betul kata sesepuh pendaki gunung, semua gunung itu unik dan memiliki medan yang tantangannya berbeda. “Jadi jangan pernah menganggap remeh sebuah petualangan,” itu pesan yang kuterima.
Teman-temanku rupanya terkecoh dan masing-masing mulai memberikan penilaian baru terhadap misi pendakian ini. Sebelumnya ada kesan sepele dari mereka. “Tadi kita kira gampang, rupanya jalurnya bikin sesak napas juga ya?” kata seorang teman dengan napas memburu.

Hampir mencapai puncak, kami tertipu lagi. Rupanya sebuah ketinggian yang kami temukan adalah “puncak palsu”. Meski gunung ini terlihat kecil, tapi kecil-kecil cabai rawit juga. Di puncak tipuan itu, kami hampir tersesat. Untunglah seorang teman buru-buru menemukan jalur yang mengarah ke kanan dan menuju puncak yang sesungguhnya. Lima menit menyusuri jalan tersebut, kami menemukan sebuah pilar yang konon didirikan oleh Belanda.
Berada di puncak Gunung Kutu seperti berada di taman. Terasa asyik karena puncaknya dilengkapi tempat duduk yang terbuat dari batu. Pilar dikelilingi tempat duduk batu dan terdapat lokasi untuk mendirikan tenda. Selain itu kami menemukan sisa-sisa ranting terbakar yang berserakan. Mungkin baru saja ada orang yang membuat api unggun, pikirku. Setelah puas beristirahat di puncak, kami menembus padang ilalang setinggi 2 meter. Dari sana terdapat satu tempat yang cozy untuk nongkrong. Dari ketinggian itu, Kota Kabanjahe tampak berkilat-kilat di bawah. Juga terlihat permukaan Gunung Sibayak dan Sinabung, dua ikon Tanah Karo yang sudah melegenda hingga mancanegara.

Sempat Terpelanting

Di puncak, senja menggairahkan alam. Burung-burung tidak berhenti berkicau. Angin senja terasa lembut menyapu kulit. Kami betah berada di sini. Alam akrab menyapa dan menjadi saksi bisu sebuah persahabatan. Di gunung inilah kami abadikan persahabatan itu. Damai di sana, sedamai alam bila hutan dan ekosistemnya dilestarikan. Sangat disayangkan, sebagian tubuh gunung mulai ditanami penduduk.

Hampir satu jam di puncak, kami kembali menuruni lereng Gunung Kutu. Karena jalannya licin, beberapa kali kami jatuh terpelanting. Tapi berkat bantuan akar-akar pohon yang tersebar di sepanjang jalur, pendakian berhasil diakhiri sekitar pukul 19.00 WIB tanpa ada yang cedera.
Dari pintu rimba, rombongan kecil ini menyusuri jalan pedesaan ke Simpang Korpri selama hampir 1 jam. Simpang ini berada di Jalan Jamin Ginting yang menghubungkan Kota Kabanjahe-Berastagi. Dari sana kami menuju Kota Berastagi dan menikmati jajanan malam di kota pariwisata itu. Bagiku, ini sebuah perjalanan penuh kenangan. Tidak akan bisa kami lupakan.
sumber : teks & photo oleh rahel sukatendel

 

This entry was posted in Jelajah Objek Wisata Karo. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *