Seorang pemuda Karo bernama Jem Tarigan Sibero atau di suku Karo disebut Pa Rasmi (kemudian disebut “Laki Eget ” karena ada kisah/ ceritanya), terlahir di Desa Kidupen, Kecamatan Juhar di tahun 1924. Anak semata wayang pasangan Nerusi Tarigan Sibero dan Terangka br Ginting Jadibata dan cucu pertama dari Malem Tarigan dan Seh Ate br Ginting Tumangger. Mengawali kanak-kanaknya dan sekolah rakyat (vervolg school) di sana, hingga akhirnya (tidak tamat) dan menyusul rombongan ayahnya yang manteki kuta ke Lau Beski (sekarang jadi Lawe Desky di Aceh Tenggara) di tahun 1927.
Waktu itu (konon) tidak lebih dari 10 kelompok pengelana ke wilayah Barat Karo dan akhirnya menghentikan langkah di dataran rendah yang penuh dengan pohon beski (sejenis rumput?), hingga dinamakan Kuta Lau Beski yang sekarang masuk Kabupaten Aceh Tenggara Povinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keluarga kami “Tarigan” adalah anak beru kuta atau anak beru simanteki kuta di Lau Beski, kalimbubunya atau kalimbubu kuta (kalimbubu simanteki kuta) dari kelompok Sembiring Meliala. Sekarang Lawe Desky berkembang menjadi 3 Desa (Lawe Desky I –dulu Lawe Desky Kampung Karo-, Lawe Desky Tonga, dan Lawe Desky Sabas), tak hanya dihuni orang-orang dari Dataran Tinggi Karo atau Taneh Karo, berbagai suku-bangsa tinggal bersama dengan suasana damai dan telah menjadi Kecamatan Babul Makmur yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Lau Pakam, Kabupaten Karo.
Revolusi perjuangan, menghantarkan Laki Eget menjadi prajurit di jajaran BKR, (Barisan Keamanan Rakyat) namanya juga pemoeda tak tamat sekolah, paling banter menduduki pangkat terendah dalam kesatuannya pada waktu itu. Tidak banyak rekannya yang tau kalau “Laki Eget” bergabung dalam keprajuritan dan kerjanya hanya ‘kesana kemari’ entah untuk urusan apa, dia tak pernah mau cerita kepada kami.
Tapi, cerita tentang revolusi, rumah keluarga kami di Lau Beski saat itu menempati posisi strategis, tepat di kaki bukit rangkaian Bukit Barisan bagian selatan (bagian utaranya adalah Bahorok, Langkat), rumah Laki Eget waktu itu memang berada di posisi paling berneh kuta, (selatan desa) berdekatan dengan sungai (Lau Beski), memang sejauh mata memandang seolah menjadi pos jaga paling strategis.
Raungan pesawat terbang jalur Medan – Langkat – Lau Deski, biasanya agak sedikit kesulitan mencapai rumah laki, karena membahayakan penerbangan. Sementara rumah lain dibombardir mortir, rumah kami selamat, dan juga menyelamatkan aset Republik, persenjataan, amunisi dan persediaan makan tentunya.
Revolusi juga yang menghantarkan Mayor Selamat Ginting Suka ke wilayah Kuta Cane dan sempat nerehken seorang gadis beru Ginting (Nd Polen beru Ginting Tumangger – senina Iting Tengah kami) dengan seorang anggota prajuritnya bermarga Sembiring,.romantisme revolusi. Secara administrasi negara, dalam darurat perang, pemerintahan juga memang dijabat oleh Pemerintahan Darurat Militer.
Konon, revolusi juga yang menghantarkan sebagian masyarakat Kidupen ke Lau Deski, sehingga di tahun 47-an komunitas Karo sudah banyak di desa tersebut. Beberapa waktu kemudian pertambahan penduduk juga mendorong pencarian lahan baru, waktu itu Laki Tengah (Ngunduk Tarigan – kelak Pa Kolam Tarigan) dan beberapa rekannya ke daerah Simpang Semadam dan Lawe Kinga. Selang beberapa waktu pernah juga terjadi pertikaian antar etnik, kelompok Karo waktu itu banyak bekerja sama dengan kelompok Alas. Itulah hidup.
Dari Prajurit jadi Permotor Deleng Pantar
Memasuki era kemerdekaan, khususnya dengan kebijakan rasionalisasi tentara dan laskyar, menghantar Laki Eget pada profesi baru, permotor. Sebagai anak tunggal, sekaligus cucu pertama, proposal permohonan dananya dengan mudah dipenuhi Bapak dan Lakinya waktu itu. Walau sebenarnya, dana terbesar di-support Bapak Tengahnya bernama Ngunduk Tarigan Sibero yang waktu itu berjualan kuda dan cabe (sayur-mayur) dari Takengon – Tanah Karo – Takengon (konon dia penunggang kuda terbaik se kecamatan Tiga Binanga, setelah bosan berjualan kuda, akhirnya laki ini menjadi petani, sehingga anakbungsunyanya dinamai Tani). Bapaknya Laki Eget sendiri waktu itu selain bertani di Lau Beski, juga erlanja sira ke daerah Belawan.
Mobil bus Usaha Nasional PMG (Perusahaan Motor Gunung) perusahaan milik Bapak Kompeni Bangun yang lebih dikenal dengan panggilan “Tokeh PMG” berasal dari desa Batukarang , salah satu armada busnya dengan nomor lambung 27 atau 37 (saya dikisahkan oleh family, bukan oleh laki Eget) adalah milik Laki Eget, katanya adalah bus pertama yang melintasi jalur Medan – Kutacane. Layaknya mobil orang Karo jaman sekarang, di bagian belakangnya ditambahi tulisan “DELENG PANTAR”. Perjuman kalimbubu Tumangger mergana yang telah dihibahkan kepada keluarga kami Tarigan. Ditambah suara klaksonnya yang khas, konon bus Usaha Nasional PMG “Deleng Pantar” ini cukup dikenal masyarakat di jalur trayek itu. Terutama di daerah Tanjung Pamah, Kecamatan Mardingding dan karena kekhasan klakson yang berirama tersebut telah memikat hati seorang gadis bernama Maria beru Sitepu (mamak saya) dari anak gadis pasangan keluarga Matpat Sitepu (Pa Bidjing *) dan Lepat br Tarigan Sibero yang berasal dari desa Tanjongpamah yang kelak menjadi Karo Eget (Nd Nurlina). Hmmm… Tarigan satu ini..
Profesi sebagai permotor, nampaknya mendapat kelas tersendiri dalam masyarakat Karo pada umumnya pada saat itu khususnya di pedalaman. Setidaknya di jaman komunikasi yang sangat minim saat itu, Permotor sering menjadi penungkunen tentang perkembangan- perkembangan yang tejadi di kota besar, seperti Kabanjahe dan Medan. Sekaligus, mereka adalah pembawa tren, mulai dari bon-bon (gula-gula) terbaru, ikan teri dan kopi yang paling berkualitas sampai dengan mode rambut dan pakaian. Bisa dibayangkan, ramainya pertanyaan-pertanyaan di kedai kopi saat Permotor berlabuh di sebuah kampung. Permotor juga menjadi mesenger untuk berbagai masalah, mulai dari berita meriah sampai dengan berita ceda ate. maupun sebagai jasa pos pengiriman uang antar desa dengan kota bagi anak sekolah-an Jadi tak salah kalau Laki Eget agak ngetop pada zamannya, tampang juga boleh sih….he heee.
Era Deleng Pantar tak berjalan lama, terkena salah satu penyakit terberat Permotor ya…erjudi, pasti tidak semua seperti itu, tapi Laki Eget selalu terdepan dalam segalanya, huh… Entah karena nekat atau karena iseng, Deleng Pantar beserta keneknya, tidak lagi masuk kandang ke rumah kami di Pasar VII di Medan. Dahsyat taruhannya, gantinya ke rumah adalah down-grade Deleng Pantar. Pernah juga ada mobil Nasional bahkan mempunyai saudara beberapa buah, sampai akhirnya lenyap tak berbekas…, berganti lagi Sigantang Sira, terus hingga menghantarkan Laki Eget ke pengembaraan barunya Jakarta.
Membuka Rintisan Baru
Waktu itu saya belum genap berusia satu bulan di tahun 1971. Laki Eget melangkahkan kaki menuju ibu kota Jakarta, setelah mendengar banyak cerita gemerlap dan mudahnya meraup rupiah di Betawi. Daerah yang dituju adalah Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pool sekaligus komunitas Karo bermukim. Konon tidak mudah mencari kontrakan di sana, terutama jika diketahui calon ‘kontraktor’ dari Sumatera (baca: Batak). Tidak sedikit yang berganti nama juga agama, agar bisa dapat kontrakan di sekitaran Tanah Kusir. Shock culture, terjadi di kalangan Betawi saat itu dan berlanjut terus hingga sekarang, komunitas Betawi semakin tergeser ke pinggiran Jakarta. Hal ini berakibat beberapa orang karo ada yang bermualaf, beberapa ada yang kembali ke keyakinan sebelumnya. Semua adalah pilihan.
Tak sampai setahun, kami diboyong sekeluarga ke Jakarta. Memang, Laki Eget ulet dalam berusaha. Mengontrak di sekitaran pool PT Saudaranta jalan Ciputat Raya Kebayoran Lama Jakarta Selatan, perusahaan otobus yang dikelola orang Karo pastinya adalah Bapak Raja Oekoem Sembiring Meliala (Pa Terangmalem) yang lebih dikenal dengan panggilan Bapak RO. Sembiring yang berasal dari desa Berastepu dan dibesarkan di desa Tanjung. Di Jakarta, kami mempunyai Bibi Baru (bibik angkat), kami memanggilnya Bibik Pool (Nande Girik/Ninta?), karena dia membuka warung di sekitaran pool dan suaminya bermarga Bangun, kebetulan mekanik di PT Saudaranta. Demikianlah kiranya kalak Karo di perlajangen, membentuk kekerabatan baru untuk menjalani ke-Karoan mereka seperti di Tanah Kemulihennya. Kalau kami main-main ke tempat bibik pool, sudah pasti semua makanan akan tumpah-ruah…. Baik sekali Bibik ini. Tak lama berselang juga kami punya satu orang Mama Baru, namanya Tulis Sitepu, lengkaplah kami sebagai keluarga Karo, berkalimbubu dan beranak-beru. Sudah lebih dari 30 tahun saya tidak kontak komunikasi dengan mereka…..
Waktu itu kami punya sebuah tape recorder kecil, sering kami pakai bersama untuk mendengar lagu-lagu di radio juga beberapa kaset yang cukup aneh bagi kami. Laki Eget sering memutar rekaman sebuah upacara kenegaraan (mungkin peringatan 17 Agustus atau 5 Oktober, saya kurang ingat), yang pasti waktu itu komandan upacaranya bernama RK Sembiring, kalau tak salah masih berpangkat Mayor di tahun 1974-an. Setiap kali kami mendengar Laki Eget selalu mengatakan “Dia ini orang Karo…” Saat pertama saya tau Karo.
Tidak kurang dari 2 tahun, kami pindah dan menetap di Pesing Koneng-Cengkareng, kebetulan dekat dengan pool PT Gamadi (Gadjah Makmur Abadi) salah satu perusahaan otobus di tahun 70-an. Situasinya pasti tidak sama seperti sekarang, dulu belum ada jembatan yang menghubungkan jalan Daan Mogot dengan rumah kami di seberang. Kampung kami dulu terdiri dari beberapa keluarga, ada keluarga Siregar (CPM), Marbun (anggota Polri), Situmeang (penjual saksang), yang lainnya ada juga Andreas Sebayang dan Notes Ginting. Bersama dengan masyarakat setempat waktu dicetuskan untuk membuat ‘arisan getek/rakit’ sebagai jalur penghubung dari kampung kami di seberang sungai dengan jalan Daan Mogot di seberang lain. Kami semua saling mendukung. Dan saat itu saya mengetahui Batak (saat itu banyak taktik dan kompak) di perlajangen.
Seiring perkembangan waktu, tidak kurang dari dua puluh Kepala Keluarga Karo menetap di sekitar Pesing Koneng dan Poglar (biarlah saya sebut beberapa yang teringat: Nd Ombot, Nd Kawar, Nd Baik, Nd Robin –saya lebih kenal mereka, karena suaminya rata-rata kerja supir di siang hari) ditambah lagi anak perana tanggung yang mengadu nasib ke Jakarta (beberapa yang saya ingat Ramban Karo-karo?, Banglades Sembiring, Masana Sitepu, Asli Tarigan, Sapta Tarigan, Namin Karo-karo, Thomas Sitepu dll-semua ini donatur saya waktu kecil he hee). Jadi kebiasaan waktu itu, kepulangan ke kampung selalu diiringi pertambahan penduduk Jakarta. Waktu itu Jakarta tidak sepadat sekarang, ini malah menguntungkan banyak pihak, karena bisa mengurangi pengangguran di kampung. Laki Eget waktu itu adalah ‘dosen killer’ para pencari kerja tadi. Hampir semua dari mereka menangis sepulang dari magang di jalan. Hanya saja, begitu mereka dinyatakan lulus oleh Laki Eget, tidak ada hambatan untuk melamar ke perusahaan. Laki Eget begitu disegani hingga diangkat sebagai Sopir Teladan di tahun 1979. Dan setelah mengakiri karirnya hingga tahun 1981, walau demikian rekomendasinya masih berlaku di perusahaan, hingga akhirnya terjadi nasionalisasi perusahaan otobis menjadi PPD (Perusahaan Penumpang Djakarta).
Sepulang dari menemani laki kami yang sudah sakit-sakitan di kampung, selanjutnya Laki Eget memulai lagi dunianya dengan RODA NIAGA. Waktu itu sekitar tahun 1984, dibuka trayek baru Cengkareng – Grogol, untuk model kendaraan baru (Colt L-300) menggantikan menggantikan mobil Opelet di jalur yang sama. Seperti Deleng Pantar, di bagian belakangnya dibuat merek MEGET-EGET, sesuai lagu yang ngetop saat itu. Sejak itulah, tangkel LAKI EGET dikalangan keluarga kami… dan tidak sedikit kawan-kawan Jawa-nya yang tertarik memberi merek yang sama setelah dijelaskan artinya oleh Laki Eget, tentu terutama kawan-kawan tua sebayanya. Ada juga pengusa mikrolet yang sukses waktu itu, bermarga Ginting, dibelakang mobil-mobilnyanya dibuat inisial GT. Selain di daerah Pesing Koneng, juga ada beberapa komunitas Karo di daerah Cengkareng, umumnya adalah crew dari Tasima, Bintang Seribu juga Liberty.
Berkembangnya komunitas ini biasanya diikuti dengan pengembangan perpulungen. Pepulungen yang saya tau waktu itu Kekelengen Keluarga Kidupen (anggotanya tak hanya Kidupen?), beberapa anggotanya yang saya ingat; Najib Karo-karo, Ngaloken Ginting, Jangoman Ginting, Thomas Ginting, Desman Ginting, Lefman Sembiring, Umar Ginting, Dahlan Kacaribu ada juga Katir Sembiring dan juga Lole (Leo) Ginting. Ini beberapa yang saya ingat, karena setiap perpulungen, saya selalu ikut serta. Entah atas alasan apa, waktu itu Laki Eget didaulat menjadi Ketua Perpulungen, mungkin anggota yang lainnya sibuk, atau memang dia dituakan/paling tua dalam kelompok itu. Padahal nama-nama tadi di atas cukup terkenal dan berpendidikan. Mungkin karena laki Eget supir dan anggotanya kebanyakan permotor sehingga pendekatannya ke bawah lebih cocok. Pernah sekali dilakukan gendang bersama komunitas Karo lainnya, diselenggarakan di GOR Kuningan, itu pertama kali saya tahu gendang Karo.
Cerita tentang olah raga dan mahasiswa, beberapa waktu berselang ada mahasiswa UI jurusan Sastra Perancis?, namanya Lion Tarigan, rambutnya kribo mirip Ahmad Albar, dia jago Silat. Dia membuka 2 perguruan silat, satu bertempat di Kalimati-Cengkareng, satu lagi di Tanah Tinggi-Tangerang. Muridnya silatnya kebanyakan para kondektur (kalak Karo) juga anak-anak sekolah di sekitar sebaya saya. Tampaknya keahlian bela diri berguna untuk menambah percaya diri di pasar simbelang. Separah-parahnya bila terjadi masalah di lapangan, waktu itu ada juga Letkol Seh Tarigan di Kepolisian.
Beberapa kelompok anak perana banyak juga yang bermigrasi ke daerah Lampung, di perusahaan bus Bina Jasa, Budi Jasa dan juga Karona. Perkembangan di Lampung cukup pesat nampaknya, (kebetulan saat SMA -3 tahun- saya tinggal di Lampung) waktu itu ada beberapa tokoh orang Karo, Taren Sembiring, Amir Sebayang dan Binana Karo-karo?? Pesatnya perkembangan di Lampung diikuti dengan perkembangan gereja GBKP (tentu umatnya bukan cuma keluarga sopir), saya sempat mengikuti acara peresmian pemugaran GBKP (Gereja Batak Karo Protestan)di Way Halim-Bandar Lampung, juga beberapa waktu kemudian diresmikan GBKP di Bandar Jaya – Metro. Mungkin demikian juga di Peninggaren dan Cengkareng, juga di Tanah Tinggi. Di Lampung saya sempat mengikuti gendang 2 kali, sekali di pool Karona, sekali lagi di GOR Saburai.
Laki Eget dan semua teman-temannya permotor adalah generasi perubahan pada jamannya. Generasi permotor pada kesempatan berikutnya menghantarkan banyak tamatan SMA (waktu itu) untuk meneruskan sekolahnya di Jakarta. Juga, generasi permotor telah menghasilkan generasi baru ‘Karo – Jakarta’ yang sadar pendidikan. Di tahun 90-an banyak orang Karo yang beralih profesi sebagai perbinaga juga membuka toko, sementara generasi terdidiknya mulai masuk ke berbagai institusi negara dan juga swasta
Cerita ini diangkat bukan untuk mengkultuskan, lebih pada satu sisi rangkaian perjalanan Karo di ibukota yang dimotori oleh Permotor (penggusahanya, sopir, kondektur, mekanik, perbinaga dan seluruh keluarganya), sebagai permotor Laki Eget barangkali punya banyak khilafan dan kesalahan, sebagai ahli warisnya saya mohon diberikan maaf kepada almarhumah. Dan atas penulisan atau intepretasi yang keliru dalam penulisan ini, saya memohon maaf dan mohon klarifikasinya.
Lebih khusus, saya lebih mengidentifikasi dia (Laki Eget) sebagai supir daripada pengusaha permotor, karena nampaknya dia lebih sukses sebagai supir, dia banget…gituuu kata anak sekarang he heee… Dan saya bangga sekali.
Salute buat Laki Eget. Salute man permotor kerina. Mejuah-juah.
Kikin Tarigan
Anak ke-9 (bungsu) Laki Eget
Catatan :
– Bidjing Karo-karo (Pa Naman), Mama Tua saya, seorang anggota laskar (mungkin juga preman kampung ha ha..,) yang menentang pemberlakuan blasting? (pajak). Yang pasti agitasinya kelak menempatkan dia menjadi buronan di kawasan Mardingding-Lau Baleng, Dia tidak pernah bisa ditangkap karena gaibnya. Suatu hari dalam sebuah perencanaan busuk kompeni dan mata-matanya (kebutulan bukan orang Karo), dia di tangkap dalam makan makan siang di rumah Laki di Tanjungpamah.
– Bersama 2 orang temannya, hingga kini tak diketahui rimbanya. konon dia mati dibunuh (mate sada wari) di sekitar Tiga Binanga??, sesuai rumor yang berkembang.
– Satukali pernah i perumah beguna, melalui Guru si Baso yang selok, dia menceritakan proses kematiannya, pertama bersama dengan 2 kawannya dia diminta menggali lubang seukuran makam besar. Kemudian, dia ditembak mati, setelah ‘jimat-jimatnya’ dilucuti. Ciri fisiknya dia mempunyai ‘gigi emas’
– Tentu itu semua kembang dan buah revolusi, kami tidak pernah menaruh dendam pada pihak manapun.
– Semoga tulisan ini bisa memberi manfaat bagi keluarga kami sekiranya ada yang mengetahui keberadaan makam/tulan-tulan tersebut dapat menginformasikan kepada keluarga kami.