Kamis, 15 Januari 2009 | 10:03:12
by. Ekky Siwabessy
Otot-otot kakiku mengeras kaku dan basah oleh keringat ketika kami tiba di Rih Belang, yang dalam bahasa setempat berarti lalang luas. Sesuai namanya, sejauh mata memandang, lembah ini dipenuhi rimbunan ilalang. Pada beberapa bagian, tingginya hampir sejajar tubuh. Gua Selayang masih jauh!
Di belakang, tampak teman-temanku tertatih-tatih menahan berat beban. Hampir dua jam lalu kami meninggalkan desa terakhir, menyibak kerapatan hutan di bukit ini. Kubuka peta lokasi base camp yang kami tuju. Jika tak ada halangan berarti, sekitar satu jam lagi kami tiba di pinggir aliran Sei (sungai) Tebah.
Sambil mengusap peluh, kupercepat langkah melintasi ilalang. Aku menggunakan sepotong kayu yang kupungut di hutan untuk menyibak rimbunan ilalang tajam di depan. Begitu pun, tangan dan kakiku tergores jua. Terasa perih dan gatal tersapu keringat. Sementara daypack berisi logistik di pundakku semakin menggigit. Perjalanan kali ini benar-benar menyiksa.
Ide mencari Gua Selayang tercetus beberapa bulan lalu. Ketika itu aku dan beberapa teman sedang mendata beberapa gua di kawasan dusun Simolap, Kelurahan Kuta Gajah, Kecamatan Salapian, Langkat. Penduduk dusun menginformasikan pada kami satu gua di pinggir aliran Sei Tebah, di bawah kaki bukit Morina.
Dari dusun Simolap, dibutuhkan tiga jam berjalan kaki melintasi kerapatan hutan di bukit Morina sebelum tiba di gubuk pencari ikan yang terletak di pinggir pertemuan aliran Sei Wampu dan Sei Tebah. Gua Selayang berada di sisi kanan sungai, kurang lebih 100 meter ke arah hulu dari gubuk pencari ikan.
Gua horizontal itu jelas menantang untuk ditelurusuri. Apalagi setelah kami tahu belum ada satu tim cavers pun yang menelusurinya. Ini sangat menarik. Aku dan ketiga rekanku dari berbagai perkumpulan mahasiswa pecinta alam (mapala) yang ada di Medan, Manto, Roy dan Jacko, menumpang bus angkutan menuju kota Marike. Lalu kami menumpang Jeep Land Cruiser tua pengangkut beras menuju Simpang Cangkolan. Selama setengah jam, kami terguncang keras di atas jeep yang melaju kencang di jalanan rusak, melintasi perkebunan coklat PTPN II.
Dari Simpang Cangkolan, tim melanjutkan perjalanan melintasi perkebunan coklat, menyeberangi jembatan gantung yang membelah Sei Wampu. Selama satu setengah jam mendaki dan melewati beberapa dusun kecil, akhirnya kami tiba di dusun Simolap dengan napas memburu. Kami mendapat izin dari Pak Ginting, kepala dusun Simolap, dan menerima gambaran tentang letak lokasi Gua Selayang. Dari sinilah perjalanan yang menyiksa itu dimulai.
Perubahan cuaca terjadi begitu cepat. Panas yang memanggang kami selama perjalanan tiba-tiba berubah. Di ujung lembah, rintik-rintik mulai turun. Kondisi tubuh yang sudah kepayahan terasa segar disirami rintik hujan. Tapi, jalanan hutan yang menurun melipir di pinggiran bukit menjadi sangat licin dan merepotkan. Jacko berulang kali terjatuh di jalur ini. Lumpur pun menghiasi sekujur tubuhnya.
Sayup-sayup terdengar suara jeram sungai yang menderu di balik kerapatan hutan di bawah kami. Matahari hampir tenggelam di sebelah barat. Kami tiba di gubuk tua pinggiran sungai. Setelah mandi dan makan, kami tertidur lelap dalam pelukan rimba belantara. Keesokan harinya, sarapan pagi terasa nikmat sekali. Serasa dibuai keindahan hutan, kami berkemas.
Kami bergerak meninggalkan base camp menyusuri sungai ke arah hulu. Tak lama kemudian pintu masuk Gua Selayang sudah terlihat di sisi kanan dinding tebing sungai. Permasalahnnya, terlalu riskan untuk menyisir dinding yang terjal itu menuju mulut gua. Satu-satunya jalan adalah menyeberangi sungai secara zig-zag. Setelah membungkus rapat perlengkapan foto, kami mulai menyeberangi Sei Tebah yang berarus deras. Lalu sekali lagi menyeberangi sungai itu untuk sampai di pintu gua.
Pintu Gua Selayang tepat di kaki bukit yang curam menghujam ke sungai. Mulut gua yang bercabang mengeluarkan debit air yang cukup besar, dipayungi rindang pepohonan. Dari pengamatan singkat di mulut gua, kami menyimpulkan adanya risiko banjir yang akan kami hadapi dalam gua nanti. Apalagi kondisi cuaca di daerah ini dapat berubah setiap saat.
Sehabis menundukkan kepala memohon lindungan Yang Maha Kuasa, penelusuran Gua Selayang pun dimulai. Selain mendata dan menelusuri Gua Selayang, kami juga berniat mengabadikan keindahan kandungan endokarsik (bentukan dekorasi gua) di perut bukit itu lewat jepretan kamera.
Kolam di Dalam Gua
Suara cipratan air menggema di lorong gua ketika kaki kami menapaki dasar gua yang berair. Mulut gua yang bercabang ternyata menyatu di bagian dalam, lalu berbelok tajam ke arah kanan. Tepat di balik tikungan, tampak beberapa flowstone (bentukan dekorasi gua yang berbentuk kelopak bunga terbalik) menggantung indah di langit-langit. Tanpa buang-buang waktu, kami segera mengabadikan keindahan ornamen itu.
Aliran sungai bawah tanah di lorong gua begitu deras, sehingga kami terpaksa berjalan lambat. Sepatu bootku jadi berat karena dipenuhi air. Terpaksa aku berulang kali menekuk kaki untuk mengeluarkan air di sepatu.
Selain karena kesulitan medan, penelusuran berjalan lambat karena diselingi kegiatan pemotretan. Beberapa meter di depan lorong mengalami penyempitan. Dinding-dinding yang basah berkilat menjulang menyentuh plaffon gua bagaikan kaki-kaki raksasa yang mengapit tubuh kami. Dasar gua yang mengalami penurunan membuat kedalaman air mencapai dada. Tim terus berjalan sambil mengangkat tas di atas kepala untuk menghindari kamera terkena air.
Di ujung lorong, kedalaman air kembali berkurang, dan hanya mencapai lutut. Berbagai jenis makhluk hidup penghuni gua banyak kami temukan di sepanjang lorong, seperti katak, udang, ikan, jangkrik, bahkan anak burung walet. Puluhan kelelawar beterbangan ketika tersapu cahaya senter yang kami gunakan.
Semakin jauh berjalan, makin terasa sengatan bau guano (kotoran kelelawar). Belum lagi boulder (runtuhan langit gua) yang menutupi lorong. Situasi ini memaksa kami memanjati runtuhan berukuran besar itu.
Ornamen Gua Selayang sangat bervariasi, mulai dari stalakmit, stalaktit, sodastraw, canopy, dan seterusnya. Dari dinding gua, terlihat indikasi kalau dulu terdapat lorong lain di atas lorong yang kami lalui. Hal ini terjadi karena adanya pergerakan kulit bumi (tectonic uplift) yang terjadi ratusan bahkan ribuan tahun silam. Samar-samar, terdengar suara air menggema. Langkah kami pun bertambah cepat karena penasaran.
Beberapa menit kemudian, kami tiba di sebuah chamber (ruang luas di dalam gua). Chamber yang lumayan besar ini dipenuhi tumpukan boulder. Banyak guano menumpuk di atas bebatuan. Air terjun mini sebelah kanan dinding gua membuat kami betah berlama-lama. Ternyata inilah sumber suara yang menggema tadi. Tinggi air terjun berkisar lima meter. Debit airnya menghasilkan cipratan embun yang memenuhi ruang gua. Tubuh pun terasa segar setelah beristirahat di tempat ini.
Perjalanan dilanjutkan dengan memanjati boulder yang menutupi chamber. Lorong gua terasa semakin sempit dan lama-kelamaan memaksa kami berjalan jongkok. Sementara ketinggian air mencapai leher. Napas pun mulai sesak. Tiba-tiba, lorong di depan kami terhalang dinding gua. Ternyata lorong ini buntu. Kami mencoba menjulurkan kaki ke dinding sebelah bawah. Terlalu sempit untuk diselami dan kondisi air di lorong ini sangat kotor.
Akhirnya kami kembali ke air terjun. Sambil mengisi waktu, aku coba memanjat air terjun itu, berharap menemukan lorong baru di atas. Tapi hanya ada kolam kecil dan sempit. Air keluar dari arah dasar kolam yang menempel pada dinding dengan debit yang sangat deras. Karena yakin adanya kemungkinan lorong lain di sebelah atas, kucoba menyelami dasar gua. Tapi setelah mencoba beberapa kali, tetap saja aku terpental keluar oleh derasnya arus air. Akhirnya, dengan rasa penasaran, kami pun memutuskan kembali ke mulut gua. Terbayang asyiknya memancing di pinggiran sungai nanti, lalu membuat api unggun di malam hari di pinggiran delta Sei Wampu.
Terdapat (3) Tanggapan
Daniel Simorangkir | 18/06/10. 13:22:39
btw,, kalo ada yang bisa bantu aku, kirim gambar dan data terperici tentang tempat ini, saya akan bantu jual paket nya, thanks
Tedy | 16/02/10. 19:58:32
Memang petualangan sejati dan tx atas info2 keindahan alam langkat
haddy | 28/01/09. 21:11:40
he’s absolutely the real caver